SELAMAT DATANG *** WELCOME *** AHLAN WA SAHLAN

Selasa, 11 Agustus 2015

Foto Kegiatan Pengurus IPM Dari Setiap Bidang Untuk Menyampaikan Materi Ke-IPM an Untuk Peseta Didik Baru

Ketua Pengkaderan "Rayhan Adi Pratama"

Salah Satu Anggota Pengkaderan M.Hadaf A.L.

Ketua Dan Sekbid Bisang KDI

Bidang KDI
 Sekarang Giliran Setiap Bidang Untuk Menyampaikan Proker Apa Sajakah Yang Ada Dibidangnya Masing-Masing.
Kali Ini Yang Mendapat Giliran Pertama Adalah Bidang "Pengkaderan". Ketua Bidang Pengkaderan (Rayhan Adi P.) Ini Didampingi Oleh Salah Satu Anggotanya (M.Hadaf.A.L) Untuk Menyampaikan Proker-Proker Apa Sajakah Yang Ada Dibidang Pengkaderan Ini.
Ketua Dan Sekbid Bidang PIP "Hilvia Faradika Sasmi" (Kiri) Dan "Alfariza Dika" (Kanan)

Bidang PIP
 Para Peserta Didik Baru Sangat Antusias Dan Sangat Menyimak.Ini Membuat Ketua Bidang Pengkaderan (Rayhan Adi P.) Sangat Senang Sekali Untuk Menyampaikan Materi Ini. Lalu Yang Menarik Pada Materi Ke-IPM an Tahun Ini Adalah Sekbid Advokasi Atau Yang Akrab Di Panggil Iqra Menyampaikan Materi Dengan Sedikit Gaya "Stand Up Comedy" Jadi Peserta Didik Baru Merasa Sangat Dihibur Oleh Sekbid Advokasi Ini.Iqra Juga Mengatakan Bahwa Jadi IPM Itu Seru Karena Kita Bisa Membantu Teman,Guru,Maupun Sekolah.
Ketua Dan Sekbid Bidang Advokasi "Imelda Rosany" (Kanan) Dan "Iqra Akbar Ramadanianto" (Kiri)
Sekbid Advokasi (Iqra Akbar R.) Sedang Menghibur Peserta Didik Baru

Ketua Dan Salah Satu Anggota Bidang Ipmawati Menyampaikan Materi Ke-IPM an
 "Siapa Yang Siap Menjadi Pengurus IPM Ranting Smp Musasi??" Begitulah Pertanyaan Dari Iqra,Lalu Banyak Yang Mengacungkan Tangan,Iqra Juga Berkata Kalau Ipm Tahun Ini Akan Mengalami Kemajuan Yang Baik.
"Riza Almira" Salah Satu Anggota Bidang Ipmawati

Jumat, 27 Maret 2015


STRUKTUR PIMPINAN RANTING
IPM SMP MUHAMMADIYAH 1 SIDOARJO
PERIODE 2014-2015



KETUA UMUM






NAUFAL SATRIA ZULFIKAR






WAKIL KETUA






M. RIDHWAN HIDAYAT



SEKRETARIS UMUM


BENDAHARA UMUM
TSANIA QURROTA A'YUN


SHEILA SABIKA
WAKIL SEKRETARIS


WAKIL BENDAHARA
SHAFA NURISMA      




HANA NUR TSURAYA

KABID KDI
KABID PIP
KABID PERKADERAN
GATRA RAGIL
ALFARIZA DIKA
M. RAIHAN A.
SEKBID
SEKBID 
SEKBID 
MIFTAHUL AFIFUR
HILVIA FARADIKA SASMI
FAHMI ABDUL AZIZ
ANGGOTA :
ANGGOTA :
ANGGOTA :
1. NABILA ADELIA
1. AINILYA JESSI
1. ALIF IHZA
2. RIZKY FAJAR
2. RAYHAN NAUVAL
2. ADE LAILATUL
3. NURIN SABRINA
3. SALSABILA RAFIF
3. ASDI OKTADIANSYAH
4. GADAFI
4. IMANDARI
4. FAIZ FIRDAUSI
5. NADYA A.
5. RANIYAH GADIANE
5. M. HADAF
6. NESYA ADELIA P        




6. DIANDARA ARINTYA

KABID ASBO
KABID ADVOKASI
KABID IPMAWATI
M. RIZKY
IMELDA ROSANTY
SHAFIRA HUDA
SEKBID
SEKBID
SEKBID
ABID IBRA
IQRA AKBAR R.
FIRDAUSI NUZULA
ANGGOTA :
ANGGOTA :
ANGGOTA :
1. FLOREAN HAYA
1. EDWINA
1. RIZA ALMIRA
2. M. YUSUF FIKRI
2. INASTITI ADNAN
2. AYUNINGSUKMA
3. SYAHRUL R.
3. JIHAN TSABITA
3. NADIYAH GADIANE
4. SYIFA NABILA
4. M. ZULFIKAR
4. BOCCA DELIA VERITA
5. THARISSA F H 5. ZAKIA OLIVIA
5. SALWA TIARA





































SIDOARJO, 3-10- 2014

WAKASIS




PEMBINA IPM





















DRA. ENY SULISTYOWATI



SITI ZUMAROH, S. AG
Di balik surat al Insyirah
Sebuah ayat dalam surat al Insyirah ayat 1-8 mengingatkan kita betapa Allah SWT menyayangi dan begitu perhatian terhadap kita sebagai hambaNya. Allah SWT sudah menunjukkan kita jalan keluar dari setiap masalah yang dihadapi oleh makhlukNya. 
Jika selama ini, ketika kita dalam keadaan gundah dan butuh pertolongan, tidak sedikit dari kita yang kemudian meminta pertolongan dari selain Allah SWT. dengan keyakinan yang pasti bahwa seseorang yang akan kita mintai pertolongan benar-benar akan memberikan solusi dari semua yang kita curahkan. Padahal sesungguhnya saat itu keimanan kita sedang diuji, benarkah ketika dalam keadaan ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta juga makanan kita sudah lari kepada Allah SWT untuk meminta itu semua?
coba kita sama-sama perhatikan call darurat yang sudah disediakan Allah SWT untuk kita!
Anda Sedih ...................................................QS 02:25
Anda berdosa.................................................QS 39:53
Anda mencari cinta dan Ketengangan ..........QS 30:21
Anda mencari teman......................................QS 02:257
Anda merasa tidak dihargai...........................QS 76:22
Anda merindukan teman................................QS 50:16
dan masih banyak lagi call darurat yang bisa kita hubungi saat kita butuhkan pertolongan. tapi yang menjadi pertanyaan besar, sudahkah kita menyandarkan semuanya kepada Allah SWT setelah kita sudah berikhtiar???
"Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan, maka sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan"
 (al Insyirah : 5-6)



Siti Zumaroh, S. Ag. (Pembina IPM SMP MUSASI)

Profil: Kyai Haji Ahmad Azhar Basyir, MA (Ketua 1990 - 1995)

Kyai Haji Ahmad Azhar Basyir, MA
 Kyai Haji Ahmad Azhar Basyir, MA 
Tokoh kharismatik dan pejuang perang sabil ini dikenal sebagai ulama yang sederhana, dan tak sedikit pula orang yang kagum pada kecemerlangan iktelektualnya. Azhar Basyir, demikian Kyai Haji Ahmad Azhar Basyir, MA kerap disapa. Ulama-intelektual ini lahir di Yogyakarta, 21 November 1928. Masa kecilnya tumbuh dan dibesarkan di lingkungan masyarakat yang kuat berpegang pada nilai agama. Yaitu, di kampung Kauman.Selama 34 tahun Azhar Basyir malang melintang menggeluti studi formalnya di Tanah Air hingga luar negeri. Putra pasangan Haji Muhammad Basyir dan Siti Djilalah ini memulai pendidikan di Sekolah Rendah Muhammadiyah Suronatan, Yogyakarta. Setelah tamat, Azhar Basyir lantas nyantri di Madrasah Salafiyah, Ponpes Salafiyah Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Setahun kemudian, Azhar Basyir berpindah ke Madrasah Al-Fallah Kauman dan menyelesaikan pendidikan tingkat menengah pertamanya pada Tahun 1944. Pendidikan lanjutan kemudian ditempuhnya di Madrasah Mubalighin III (Tabligh School) Muhammadiyah Yogyakarta dan rampung dalam dua tahun.   Pada masa revolusi, Azhar Basyir bergabung dengan kesatuan TNI Hizbullah, Batalion 36 Yogyakarta. Pasca kemerdekaan, Azhar Basyir kembali ke bangku study melalui Madrasah Menengah Tinggi Yogyakarta tahun 1949, dan tamat tahun 1952. Baru kemudian meneruskan ke Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Yogyakarta. Berkat kegigihan yang ditunjang kemampuan ilmu agamanya, Azhar Basyir dipercaya menjadi ketua Pemuda Muhammadiyah tatkala lembaga ini baru didirikan tahun 1954. Jabatannya mendapat pengukuhan kembali pada Muktamar Pemuda Muhammadiyah di Palembang tahun 1956. Tak lama tugas itu diembannya, Azhar Basyir mendapat beasiswa untuk belajar di Universitas Baghdad, Irak. Fakultas Adab Jurusan Sastra adalah bidang yang diambilnya. Dari sini, Azhar Basyir melanjutkan studi ke Fakultas Dar Al 'Ulum Universitas Kairo, serta belajar Islamic Studies sampai meraih gelar master dengan tesis: Nizam al-Miras fi IndunisiaBain al-'Urf wa asy-Syari'ah al-Islamiyah (Sistem Warisan di Indonesia, antara Hukum Adat dan Hukum Islam).Sekembalinya ke Indonesia selama study di Timur Tengah, Azhar Basyir diangkat sebagai dosen di Universitas Gadjah Mada (UGM). Tak hanya bidang keilmuan yang ditekuninya, di lapangan organisasi Azhar Basyir pun aktif terlibat. Bahkan sejak duduk di sekolah menengah sudah bergiat di Majelis Tabligh Muhammadiyah. Karir berorganisasinya dimulai sebagai Juru Tulis yang tugasnya mengetik dan mengantar surat. Barulah kemudian Azhar Basyir masuk dalam jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yaitu di Majelis Tarjih sampai tahun 1985.   Pada Muktamar Muhammadiyah di Semarang tahun 1990, ulama intelektual ini diberi amanah di jajaran Ketua PP Muhammadiyah. Saat memasuki musim haji tahun 1994, pemerintah menunjuknya selaku perwakilan Amirul Haj Indonesia. Pulang dari Tanah Suci, Azhar Basyir kembali bekerja keras. Dan pada saat yang sama, duduk di beberapa organisasi seperti menjadi salah satu ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat masa bakti 1990-1995, anggota Dewan Pengawas Syariah Bank Muamalat Indonesia, serta anggota MPR-RI periode 1993-1998. Pada usia 65 tahun, tokoh kharismatik ini mulai memasuki masa pensiun dari kegiatan mengajar di Fakultas Filsafat UGM. Tetapi, tetap bertekad mengabdikan ilmunya dengan mengajar di Fakultas Hukum UGM, IAIN Sunan Kalijaga dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.    Pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 di Yogyakarta tahun 1995, Azhar Basyir terpilih sebagai Ketua Muhammadiyah menggantikan KH AR Fakhruddin. Berkenaan dengan dimensi tasawuf dalam Muhammadiyah, Azhar Basyir menyatakan bahwa Muhammadiyah juga menganut tasawuf, seperti yang ditulis Buya Hamka dalam buku Tasauf Modern. Menurutnya, orang dapat saja melakukan kegiatan yang berorientasi dunia tanpa meninggalkan dzikir. Demikianlah ketegasan tokoh ini dalam menetapkan garis kebijakan Muhammadiyah. Melalui gagasan dan pemikirannya itulah Azhar Basyir dikenal sebagai ulama yang banyak menguasai ilmu agama, kehadirannya dalam khazanah pemikiran Islam seumpama sumur yang tak surut ditimba. Dapatlah dikata, Azhar Basyir merupakan sosok perpaduan ulama dan intelektual. Oleh karenanya, Muhammadiyah di bawah kepemimpinannya cukup intens memunculkan kegiatan yang berbentuk pengajian dan kajian dalam mengurai berbagai persoalan keummatan dan pemikiran keislaman. Karya ilmiah yang pernah ditulis Azhar Basyir cukup banyak dijadikan rujukan dalam kajian ilmiah di berbagai Universitas di Tanah Air. Di waktu senggangnya, Azhar Basyir juga bergiat menulis buku. Di antara karya-karyanya adalah Refleksi Atas Persoalan Keislaman (seputar filsafat, hukum, politik dan ekonomi); Garis-garis Besar Ekonomi IslamHukum Waris Islam; Sex Education; Citra Manusia Muslim;Syarah HaditsMissi MuhammadiyahFalsafah Ibadah dalam IslamHukum Perkawinan IslamNegara dan Pemerintahan dalam IslamMazhab Mu’tazilah (Aliran Rasionalisme dalam Filsafat Islam); Peranan Agama dalam Pembinaan Moral PancasilaAgama Islam I dan II, dan lain-lain. Selain itu, Magister dalam ilmu Dirasat Islamiyah ini diakui secara internasional sebagai ahli fiqih yang disegani. Itulah mengapa, sosoknya dengan mudah diterima duduk di Lembaga Fiqih Islam: Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang memiliki persyaratan ketat.    Tepatnya pada awal Juni 1994, ulama ini masuk rumah sakit karena komplikasi penyakit gula, radang usus, dan jantung. Kondisinya kian memburuk. Hingga akhirnya, wafad di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sarjito setelah dirawat di PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Azhar Basyir wafad tepat pada tanggal 28 Juni 1994 dalam usia 66 tahun dan dimakamkan di Pemakaman Umum Karangkajen Yogyakarta.

Sumber:http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-166-det-kha-azhar-basyir-ma.html

Kamis, 26 Maret 2015

Profil::Prof. Dr. H. Amien Rais(Ketua 1995 -1998)

Prof. Dr. H. Amien Rais
Prof. Dr. H. Amien Rais
   Meskipun tak semua nama otomatis mewakili kepribadian seseorang, namun membaca nama Tokoh Sentral Reformasi Indonesia 1998 satu ini sudah cukup sebagai referensi awal untuk melihat sosoknya yang besar. Prof. Dr. Muhammad. Amien Rais, MA. yang lebih populer dikenal Amien Rais adalah sosok pemimpin terpercaya di republik ini. Lahir pada 26 April 1944 di Surakarta. Orang tuanya berharap putra kedua dari enam bersaudara ini menjadi kyai dan melanjutkan pendidikan agama ke Mesir, sehingga pendidikan yang ditanamkan Syuhud Rais dan Sudalmiyah, ayah dan ibunya, sejak dini sudah mencerminkan nilai-nilai agama yang sangat menekankan tumbuhnya kepribadian disiplin, taat beribadah, banyak membaca dan berbudi pekerti. Dari lingkungan sekitarnya, Amien Rais juga banyak belajar tentang realitas masyarakat dimana dirinya sangat dekat dengan kondisi keluarga miskin, kampung sederhana, dan bahkan memahami betul bentuk ruang tidur dan dapurnya yang alakadarnya.


. Amien Rais menyelesaikan pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar Muhammadiyah I Surakarta, sampai pendidikan SMP dan SMU juga selesai di sekolah Muhammadiyah. Pendidikan tingkat sarjana Amien Rais selesaikan di Jurusan Hubungan Internasional fakultas FISIPOL Universitas Gadjah Mada pada tahun 1968, bahkan tahun berikutnya juga menerima gelar Sarjana Muda dari Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di masa-masa mahasiswa inilah Amien Rais terlibat aktif dan berperan di berbagai organisasi kemahasiswaan, seperti Ikatan Mahasiswa Muham­madiyah (Ketua Dewan Pimpinan Pusat IMM) dan Himpunan Mahasiswa Islam (Ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam HMI Yogyakarta). Studinya dilanjutkan pada tingkat Master bidang Ilmu Politik di University of Notre Dame, Indiana, dan selesai tahun 1974. Dari universitas yang sama juga memperoleh Certificate on East-European Studies. Sedangkan gelar Doktoralnya diperoleh dari University of Chicago, Amerika Serikat (1981) dengan mengambil spesialisasi di bidang politik Timur Tengah dan selesai tahun 1984. Disertasinya yang cukup terkenal, berjudul: The Moslem Brotherhood in Egypt: its Rise, Demise, and resurgence (Organisasi Ikhwanul Muslimin di Mesir: Kelahiran, Keruntuhan dan Kebangkitannya kembali). Program Post-Doctoral Program di George Washington University pada tahun 1986 dan di UCLA pada tahun 1988 pernah pula diikutinya.
Saat mengenang Zainal Zakze Award yang di raihnya tahun1967, sebuah penghargaan jurnalisme bagi penulis mahasiswa krits, Amien Rais hanya berkomentar pendek ”Sejak itu, saya tidak pernah tidak kritis.” 
Sebagai ilmuwan dan akademisi sekaligus Guru Besar Ilmu Politik di Universitas Gadjah Mada, Amien Rais mengajar mata kuliah Teori Politik Internasional, Sejarah dan Diplomasi di Timur Tengah, Teori-teori Sosialisme, hingga memegang mata kuliah Teori Revolusi dan Teori Politik di Program Pascasarjana Ilmu Politik. Selain itu, Amien Rais mengelola Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK), lembaga yang konsen dalam kegiatan pengkajian dan penelitian sebagai bentuk keprihatinan atas terbatasnya produk kebijakan menyangkut masalah-masalah strategis yang berorientasi pada penguatan pilar-pilar kehidupan masyarakat. Perjalanan pendidikan Amien Rais memberinya tak sedikit pengalaman dan kemampuan kognitif-analitis, dimana kemampuan itu mengantarnya menjadi salah seorang intelektual terkemuka di negeri sendiri dan di berbagai negeri mancanegara. Sepanjang rentang aktivitas sekembalinya ke Tanah Air setelah sekian lama malang-melintang menimba ilmu di negeri Paman Sam, tugas-tugas intelektualisme yang kemudian Amien Rais geluti --baik berupa transfor­masi keilmuan dengan mengajar di berbagai universitas maupun dengan melakukan kritik atas fenomena sosial yang sedang berlangsung-- meneguhkan sosoknya yang memiliki daya kepemimpinan di atas rata-rata dan dapat dipercaya. Kritiknya yang sangat vokal bahkan mewarnai opini publik di Indonesia. Dan sebagai pakar politik Timur Tengah, Amien Rais juga seringkali melontarkan kritik yang sangat tajam terhadap kebijakan politik luar negeri Amerika, sebuah negeri tempatnya sendiri belajar tentang demokrasi dan hak asasi manusia.
Konsistensi Amien Rais dalam menolak sikap lembek bangsanya terhadap intervensi asing dan budaya koorporatokrasi yang menjagal hak-hak dasar hajat hidup bangsa Indonesia sendiri terekam jelas dalam buah pikirnya pada buku:Selamatkan Indoenesia; Agenda Mendesak Bangsa. Dalam komentarnya tentang buku itu, Amin Rais tak segan-segan mengakuinya sebagai Angry Book (buku yang marah). “Saya mencoba menggugah anak anak-anak bangsa yang sudah dibrainwashing sejak jaman londo dahulu, dan sekarang masih melekat sebagai mental inlander. Tanpa melepaskan mental inlander (mental budak), kita tidak bisa bangkit. Sayangnya, pemimpin kita tidak mengikuti Sultan Agung Mataram tapi malah mengikuti Amangkurat I dan II yang menjual Pelabuhan Cirebon (pada bangsa asing) dan memanggil eyang pada Gubernur Jendral Belanda”. Tukasnya tanpa tedeng aling-aling dalan sebuah kesempatan diskusi Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah (2008).
Jauh masa sebelum Amien Rais melontarkan hal itu, perannnya sebagai cerdik cendekia terkemuka telah menempatkannya di posisi Ketua Dewan Pakar ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), yang lahir dan besar dari rahim Orde Baru. Namun, kondisi politik dan perekonomian yang sudah terlanjur membusuk dan sangat tidak sehat bagi demokratisasi mendorongnya mengambil langkah berani yang tidak populer dan bersuara lantang tentang silang sengkarut praktik KKN (korupsi, kolusi, Nepotisme) di tubuh birokarasi serta eksploitasi serakah kekayaan negeri yang sangat merugikan negara di sejumlah perusahaan besar asing seperti Busang dan Freeport . Seperti resiko yang diduga banyak orang, Amien Rais kemudian terpental dari posisinya di ICMI.
Namun kehadirannya di Muhammadiyah dan lompatan-lompatan gagasannya justru dianggap sejalan dengan watak gerakan pembaharuan yang kritis dan korektif, hal itu kemudian menuai dukungan penuh. Maka tahun 1993, dihadapan peserta Tanwir Muhammadiyah yang berlangsung di Surabaya Amien Rais kembali menggulirkan issu besar, yakni perlunya suksesi kepresidenan. Sebuah langkah janggal pada saat itu sebab gurita kepemimpinan Orde Baru masih sangat mencengkeram. Keberaniannya mengambil resiko yang tak jarang bahkan mengancam jiwanya, diakui suami Kusnariyati Sri Rahayu ini sebagai sikap amal ma’ruf nahi mungkar yang sesungguhnya amanat dan sekaligus ruh gerakan dakwah Muhammadiyah. Aminen Rais juga merasa bahagia menerjang segala resiko perjuangannya karena mendapat supportpenuh dari istri dan kelima putra-putrinya: Ahmad Hanafi, Hanum Salsabilla, Ahmad Mumtaz, Tasnim Fauzia, dan Ahmad Baihaqi.
”Saya dulu dididik ibu untuk amar ma’ruf. Menurut beliau, melaksanakan amar ma’ruf tidak ada resikonya. Orang yang tidak setuju pun tidak marah. Tapi, melaksanakan nahi mungkar banyak resikonya,” gugahnya nan bersahaja.   
Proses ragi politik yang terus membusuk dan melemahkan sendi-sendi ekonomi bangsa pada dasa­warsa kedua tahun 1990-an, mendorong Amien Rais kembali menggulirkan gagasan tentang suksesi, bahkan dengan desakan lebih luas: Reformasi Total. Berawal dari kasus Freeport dan Busang, Amien Rais sengaja meggerbah kelesuan perubahan sosial yang mendasar di negeri ini. Bahkan, gagasan dan gerakannya berada di garda paling depan dalam meruntuhkan kebobrokan politik Orde Baru. Sejak awal bergulirnya reformasi, Amien Rais sudah menyatakan ”siap” mencalonkan diri sebagai presiden. Ini sebuah pernyataan yang dinilai sangat berani pada saat itu meskipun diakuinya sendiri hanya sebatas political education. Namun wacana pencalonan dirinya sebagai presiden, bukanlah semata-mata didorong hasrat untuk berkuasa melainkan cermin sikap high politic-nya yang konsekwen mendorong upaya pengentasan penderitaan rakyat akibat distorsi kepemimpinan nasional yang otoriter dan korup. Amien Rais melihat keterpurukan bangsa ini harus diperbaiki mulai dari tampuk kekuasaan.
Keterlibatan Amien Rais di Pimpinan Pusat Muham­madiyah dimulai sejak Muktamar Muhammadiyah tahun 1985 di Surakarta sebagai Ketua Majelis Tabligh. Pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 (1990) di Yogyakarta, Amien Rais terpilih sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Meninggalnya K.H. Ahmad Azhar Basyir selaku Ketua Umum Muhammadiyah pada tahun 1994 kemudian mendaulat Sang Pemberani ini ke posisi puncak itu. Muktamar Muhammadiyah ke-43 tahun 1995 di Banda Aceh akhirnya secara aklamasi meminta kesediannya melan­jutkan tampuk nakhoda Muhammadiyah.
Dapat dikata, aktivitas bermuhammadiyah Amien Rais tidak pernah terlepas dari pandangan keprihatinannya terhadap kehidupan politik nasional yang menurutnya perlu direfor­masi untuk menghindari keterpurukan bangsa yang semakin dalam. Setelah tumbangnya Rezim Orde Baru dengan mundurnya Soeharto dari jabatan presiden selama 32 tahun, situasi politik berlangsung mencekam dan sangat meresahkan. Maka bersama berbagai komponen tokoh bangsa lainnya Amien Rais mendirikan Majelis Amanat Rakyat (MARA) untuk mencari solusi terbaik pasca reformasi. Tak sedikit yang mengaggap sudah kepalang tanggung jika Amien Rais harus berhenti hanya sampai disitu, atas desakan dari berbagai komponen bangsa yang menginginkan perubahan para­digma politik Indonesia, Amien Rais kemudian mendirikan partai politik yang diberi nama Partai Amanat Nasional (PAN). Sebagai konsekuen­si­ dari langkah politik itu, Amien Rais harus melepaskan posisi puncak di Muhammadiyah.
”Muhammdiyah adalah rumah abadi saya,” tegasnya tak dapat mengelakkan rasa haru.
Kiprah Amien Rais selama mamainkan peran awal hingga sekarang di pentas politik nasional cukup fenomenal. Partai Amanat Nasional yang kemudian dinakhodainya sendiri berhasil cukup gemilang dalam mengikuti pemilu pertamakali tahun 1999, dimana partai berlambang matahari itu mampu meraup perolehan suara 7% dan menempatkan posisinya di peringkat ke-5 dalam perolehan suara nasional seluruh partai kontestan. Posisi tersebut, berhasil pula mengantarkan Amien Rais sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI). Dalam posisi paling atas lembaga tertinggi negara itu, Amien Rais menjadi king maker regulasi demokrasi nasional. Bahkan dengan kepiawaian dan kecerdasan politiknya, Amien Rais menggulirkan gagasan Poros Tengah untuk membangun jalan baru dari dua titik ekstrim dalam kubu politik yang cenderung berlaku zero some game sebab tersandung kebekuan hubungan politik, sampai kemudian berhasil mencalonkan, mengawal dan sekaligus mengantarkan Abdurrahman Wahid ke tampuk kursi Presiden ke-4 RI. Dan ternyata, gagasan Poros Tengah itu mampu memberi pengaruh pula bagi upaya merajut hubungan harmonis Muhammadiyah-NU yang sebelumnya kerap bersebrangan tegang dalam pilihan instrumen dan gerak dakwahnya. Meskipun keharmonisan hubungan itu tak lama disemai, sebab proses politik setelahnya berlangsung di luar duga, dimana presiden ke-4 RI yang tak lain tokoh sentral NU itu akhirnya dilengserkan secara konstitusional oleh MPR RI yang kebetulan masih dikomandanu Amien Rais.
Meskipun Amin Rais sendiri belum berhasil meraih kursi presiden ke-5 RI dalam kontestasi Pemilu Presiden yang diselenggarakan pertamakali secara langsung (2004), namun prestasi politiknya tak terpungkiri sejarah bangsa Indeonsia sebagai sosok bapak dan sekaligus sokoguru politik bangsa yang mewakili lima nilai istimewa rapor politikus era reformasi: Ikhlas, cerdas, tegas, jujur dan bersih. Kini, menjelang usia lanjut dan tampak mulai memasuki masa sepuh, Amin Rais masih segar sumringah berkiprah di Muhammadiyah.
”Saya dulu dididik ibu untuk amar ma’ruf. Menurut beliau, melaksanakan amar ma’ruf tidak ada resikonya. Orang yang tidak setuju pun tidak marah. Tapi, melaksanakan nahi mungkar banyak resikonya,” gugahnya nan bersahaja.   
Proses ragi politik yang terus membusuk dan melemahkan sendi-sendi ekonomi bangsa pada dasa­warsa kedua tahun 1990-an, mendorong Amien Rais kembali menggulirkan gagasan tentang suksesi, bahkan dengan desakan lebih luas: Reformasi Total. Berawal dari kasus Freeport dan Busang, Amien Rais sengaja meggerbah kelesuan perubahan sosial yang mendasar di negeri ini. Bahkan, gagasan dan gerakannya berada di garda paling depan dalam meruntuhkan kebobrokan politik Orde Baru. Sejak awal bergulirnya reformasi, Amien Rais sudah menyatakan ”siap” mencalonkan diri sebagai presiden. Ini sebuah pernyataan yang dinilai sangat berani pada saat itu meskipun diakuinya sendiri hanya sebatas political education. Namun wacana pencalonan dirinya sebagai presiden, bukanlah semata-mata didorong hasrat untuk berkuasa melainkan cermin sikap high politic-nya yang konsekwen mendorong upaya pengentasan penderitaan rakyat akibat distorsi kepemimpinan nasional yang otoriter dan korup. Amien Rais melihat keterpurukan bangsa ini harus diperbaiki mulai dari tampuk kekuasaan.
Keterlibatan Amien Rais di Pimpinan Pusat Muham­madiyah dimulai sejak Muktamar Muhammadiyah tahun 1985 di Surakarta sebagai Ketua Majelis Tabligh. Pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 (1990) di Yogyakarta, Amien Rais terpilih sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Meninggalnya K.H. Ahmad Azhar Basyir selaku Ketua Umum Muhammadiyah pada tahun 1994 kemudian mendaulat Sang Pemberani ini ke posisi puncak itu. Muktamar Muhammadiyah ke-43 tahun 1995 di Banda Aceh akhirnya secara aklamasi meminta kesediannya melan­jutkan tampuk nakhoda Muhammadiyah.
Dapat dikata, aktivitas bermuhammadiyah Amien Rais tidak pernah terlepas dari pandangan keprihatinannya terhadap kehidupan politik nasional yang menurutnya perlu direfor­masi untuk menghindari keterpurukan bangsa yang semakin dalam. Setelah tumbangnya Rezim Orde Baru dengan mundurnya Soeharto dari jabatan presiden selama 32 tahun, situasi politik berlangsung mencekam dan sangat meresahkan. Maka bersama berbagai komponen tokoh bangsa lainnya Amien Rais mendirikan Majelis Amanat Rakyat (MARA) untuk mencari solusi terbaik pasca reformasi. Tak sedikit yang mengaggap sudah kepalang tanggung jika Amien Rais harus berhenti hanya sampai disitu, atas desakan dari berbagai komponen bangsa yang menginginkan perubahan para­digma politik Indonesia, Amien Rais kemudian mendirikan partai politik yang diberi nama Partai Amanat Nasional (PAN). Sebagai konsekuen­si­ dari langkah politik itu, Amien Rais harus melepaskan posisi puncak di Muhammadiyah.
”Muhammdiyah adalah rumah abadi saya,” tegasnya tak dapat mengelakkan rasa haru.
Kiprah Amien Rais selama mamainkan peran awal hingga sekarang di pentas politik nasional cukup fenomenal. Partai Amanat Nasional yang kemudian dinakhodainya sendiri berhasil cukup gemilang dalam mengikuti pemilu pertamakali tahun 1999, dimana partai berlambang matahari itu mampu meraup perolehan suara 7% dan menempatkan posisinya di peringkat ke-5 dalam perolehan suara nasional seluruh partai kontestan. Posisi tersebut, berhasil pula mengantarkan Amien Rais sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI). Dalam posisi paling atas lembaga tertinggi negara itu, Amien Rais menjadi king maker regulasi demokrasi nasional. Bahkan dengan kepiawaian dan kecerdasan politiknya, Amien Rais menggulirkan gagasan Poros Tengah untuk membangun jalan baru dari dua titik ekstrim dalam kubu politik yang cenderung berlaku zero some game sebab tersandung kebekuan hubungan politik, sampai kemudian berhasil mencalonkan, mengawal dan sekaligus mengantarkan Abdurrahman Wahid ke tampuk kursi Presiden ke-4 RI. Dan ternyata, gagasan Poros Tengah itu mampu memberi pengaruh pula bagi upaya merajut hubungan harmonis Muhammadiyah-NU yang sebelumnya kerap bersebrangan tegang dalam pilihan instrumen dan gerak dakwahnya. Meskipun keharmonisan hubungan itu tak lama disemai, sebab proses politik setelahnya berlangsung di luar duga, dimana presiden ke-4 RI yang tak lain tokoh sentral NU itu akhirnya dilengserkan secara konstitusional oleh MPR RI yang kebetulan masih dikomandanu Amien Rais.
Meskipun Amin Rais sendiri belum berhasil meraih kursi presiden ke-5 RI dalam kontestasi Pemilu Presiden yang diselenggarakan pertamakali secara langsung (2004), namun prestasi politiknya tak terpungkiri sejarah bangsa Indeonsia sebagai sosok bapak dan sekaligus sokoguru politik bangsa yang mewakili lima nilai istimewa rapor politikus era reformasi: Ikhlas, cerdas, tegas, jujur dan bersih. Kini, menjelang usia lanjut dan tampak mulai memasuki masa sepuh, Amin Rais masih segar sumringah berkiprah di Muhammadiyah.

Sumber:http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-167-det-prof-dr-h-amien-rais.html

MUSASI GOT TALENT 2014 DIGAWANGI OLEH BIDANG ASBO IPM SMP MUSASI 2014-2015









BAZAR MURAH LINTAS BIDANG DALAM MEMERIAHKAN KEGIATAN MC2 (MUSASI CLASSMEETING CUP) 2K14















KAJIAN BIDANG PIP ( ILMU PENGETAHUAN UMUM DALAM PERSPEKTIF ISLAM)

Florean Haya (bidang ASBO) ikut aktif dalam mempresentasikan sebuah masalah tentang kajian ilmu pengetahuan dlm perspektif Islam yang ditugaskan oleh Pemateri
Peserta Kajian PIP
Alfariza Dika (Kabid PIP) ikut andil presentasi
Ibu Erna Herawati, S. Pd (Waka Kurikulum/Guru IPA) pemateri kajian ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam digawangi bidang PIP @22/11/2014

Profil:Prof. Dr. Ahmad Syafi'i Ma'arif(Ketua 1998 - 2005)

Prof. Dr. Ahmad Safi'i Ma'arif
Prof. Dr. Ahmad Syafi'i Ma'arif
Buya Safii, demikian sapaan akrab Prof. DR. Ahmad Safii Maarif. Tokoh pluralis yang tak sedikit menyumbangkan gagasan dan pemikiran keislaman dalam naungan payung besar kemajemukan bangsa Indonesia ini lahir di Sumpur Kudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935. Masa kecil Buya Syafii yang sangat dekat dengan tradisi Islam telah menjadi magnet awal yang senantiasa mengajaknya bergumul dengan pengetahuan keislaman serta berusaha memahaminya sedalam mungkin. Geliat hidup demikian itu, dapat dikata pula berkat bimbingan dari almarhumah ibunya, Makrifah. Ketajaman minat Buya Safii mendalami Islam kian terasah dan makin tajam oleh pendidikan yang dijalaninya kemudian, dan pada akhirnya membentuk dirinya hidup secara kental dalam kultur Islam.
 
Setamat Sekolah Rakyat Ibtidaiyah di kampung kelahirannya, Buya Safii menginjakkan kaki di lantai sekolah Madrasah Mu’allimin Lintau, Sumatera Barat. Sampai kemudian menyebrangkan kakinya jauh melintasi lautan untuk melanjutkan sekolah ke Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah di Yogyakarta, dan tamat tahun 1956. Berbekal ilmu agama di Mu’allimin itu, Buya Safii pun menerima dengan lapang dada tugas pengabdian yang harus diembannya ke Lombok Timur selama satu tahun sebagai guru di sekolah Muhammadiyah.
Setelah menjalani masa pengabdian itu, Buya Safii melanjutkan studinya kembali ke perguruan tinggi, meskipun ikhtiar menempuh pendidikan tinggi baginya bukanlah hal yang mudah. Namun tekad dan semangatnya menimba ilmu telah membuatnya mampu menerabas segala rintangan. Bayangkan, dalam keadaan yatim piatu Buya Safii masih sanggup merentang jerih usahanya dengan hanya ditopang saudaranya untuk bisa duduk sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Surakarta. Saya terdampar di pantai karena belas kasihan ombak, kenangnya mengilus­trasikan perjalanan hidupnya dalam sebuah wawancara dengan Majalah Kuntum. 
Baru satu tahun kuliah, pemberontakan PRRI/Permesta meletus dan menyebabkan terputusnya jalur hubungan Sumatera-Jawa. Dengan demikian, bantuan biaya kuliah dari saudaranya terputus, sehingga Buya Safii memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah. Masa itu cukup getir, dimana Buya Safii harus menyambung hidup sebagai guru desa di wilayah Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
 
Tak salah banyak orang memuji semangat keilmuannya, motivasi belajar Buya Safii tak berhenti hanya oleh getah getir kesulitan hidup yang membelintang di hadapannya. Sembari bekerja, suami dari Hj. Nurkhalifah dan ayah dari ketiga putranya: Salman, Ikhwan dan Mohammad Hafiz ini, Buya Safii kembali melanjutkan kuliah di Jurusan Sejarah, karena tidak mungkin lagi kembali ke Fakultas Hukum. Gelar Sarjana Muda berhasil diraihnya dari Universitas Cokroaminoto pada tahun 1964, sedangkan gelar Sarjananya diperoleh dari IKIP Yogyakarta empat tahun kemudian. Kepakarannya di bidang sejarah semakin teruji setelah memperoleh gelar Master dari Ohio State Universitas, Amerika Serikat.
Pilihan yang tak sengaja itu ternyata telah menuntun saya menemukan hikmah kemanusiaan, komentarnya ringan dalam sebuah wawancara dengan KOMPAS.
 
Gelar Doktoralnya diperoleh pada tahun 1993 dari Universitas Chicago dalam Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat dengan disertasi: Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia. Anak bungsu di antara empat bersaudara ini, terlibat secara intensif melakukan pengkajian terhadap Al-Quran dengan bimbingan seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam, Fazrul Rahman. Di sana pula, Buya Safii kerap terlibat diskusi intensif dengan Nurcholish Madjid dan Amien Rais yang sedang menjalani pendidikan doktor.
Buya Safii mengakui bahwa ilmu dan pengetahuan sejarah telah demikian memikat minatnya karena sejarah berbicara tentang simpul-simpul kemanusiaan secara totalitas. Tak heran jika dalam sebuah ungkapannya terlukis kesan itu: Sudah 25 tahun terakhir, perhatian terhadap sejarah, filsafat dan agama melebihi perhatian saya terhadap cabang ilmu yang lain. Namun saya sadar sepenuhnya, bahwa semakin saya memasuki ketiga wilayah itu semakin tidak ada tepinya. Tidak jarang saya merasa sebagai orang asing di kawasan itu, kawasan yang seakan-akan tanpa batas.
Dari proses itu pula, rasa humanisnya tumbuh dan memperdalam perhatiannya pada masalah-masalah kemanusiaan. Kehidupan relegius yang kuat berurat akar dalam sanubarinya kemudian memercik indah dalam tafsir dan ajakan membumikan islam dalam kembangan Hablumminnas yang sejati: saling mencintai dan mengasihi sesama manusia di muka bumi. Dan menyerukan agar Islam tak dipeluk dalam keyakinan sebatas ritual, namun juga harus mampu mengembangkan praktik dan perilaku hidup keislaman dengan memeluk utuh Islam sesuai seruan hakikinya: rahmatan lil’alamin.  
”Terasalah kekecilan diri ini berhadapan dengan luas dan dalamnya lautan jelajah yang hendak dilayari.” Kalimat bersahaja itu terlontar pada mukaddimah pidato Pengukuhan Guru Besar-nya di IKIP Yogyakarta. “Rendah hati adalah refleksi dari iman,” sambungnya.
 
Maka tak berelebihan, jika begitu banyak orang yang terpukau dan takzin pada sosok Buya Safii sebagai ilmuwan yang selalu menempatkan kekuatan religi dalam setiap pergulatan dengan ilmunya. Ia sejarawan dan ahli filsafat, tetapi di tengah masyarakat lehadirannya selaku anak bangsa lebih dikenal sebagai seorang agamawan. Tidaklah kamu diberi ilmu, kecuali sedikit saja, pungkasnya mengutip sebuah ayat suci Al-Quran. Ini adalah nasehat untuk meredam ambisi dan rasa ingin tahu manusia untuk tidak melangkahi kawasan luar batas kemampuannya sendiri. Dalam pengertian itulah, maka timbul semakin kuat keyakinanya bahwa dalam setiap ilmu pengetahuan ada tanda-tanda keberadaan Tuhan. Kita harus percaya pada realitas yang ada di luar jangkauan manusia, demikian tekannya. Alam semesta dan seluruh muatannya tidak bisa menjelaskan dirinya, diam seribu bahasa mengenai asal-usul kejadian dan keberadaannya. Hanya wahyu yang kemudian menolong otak manusia dan persepsinya guna memahami semua fenomena itu. Hanya lewat agama, manusia bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang tujuan eksistensi manusia dan tentang makna kematian. Filsafat, apalagi sejarah, tidak mampu melakukannya.
Membaca buku adalah kesibukan harian yang dilakukan Buya Safii, selain menjalankan aktivitasnya sebagai Ketua PP Muhammadiyah, anggota Dewan Pertimbangan Agung dan staf pengajar di IKIP Yogyakarta. Tidak heran kalau Buya Safii juga fasih menyitir ungkapan yang berharga dari kalangan ilmuwan, dan juga kaya dengan ungkapan-ungkapan puitis yang bermakna cukup mendalam.
Bahkan keterlibatan Buya Safii sebagai Ketua Umum Muhammadiyah merupakan sebuah keharusan sejarah itu sendiri. Tatkala desakan reformasi sedang bergulir di Indonesia, dan Amien Rais sebagai salah satu lokomotif pendesak yang saat itu menakhodai Muhammadiyah harus melibatkan diri dalam aktivitas politik untuk mengawal gerak roda reformasi secara praktis, maka sebagai nakhoda pengganti Buya Safii sadar bahwa pada saat itu pula Muhammadiyah seumpama bahtera induk yang harus tetap diarahkan ke haluan utamanya agar tak terseret-seret oleh tarikan arus pergumulan politik praktis dan kepentingan jangka pendek.
 
”Janganlah kita berlama-lama berada dalam iklim ketidakpastian masa depan, sebab itu berarti kita membiarkan bangsa ini berkubang dalam proses pembusukan sejarah. Sungguh memalukan dan melelahkan!”
Setelah kembali terpilih sebagai Ketua Umum Muhammadiyah dalam Muktamar ke-44 (2000) yang berlangsung di Jakarta, Buya Safii kemudian mengemudikan perannya dalam mendinamisasi Muhammadiyah agar dapat secara optimal menggerakkan usaha-usaha tajdid dan cita-cita pencerahan yang hendak diraihnya. Jangan sampai gerakan pembaharuansebagai dasar filosofis Muhammadiyah tergerus dan hanya menjadi slogan kosong dalam aktualisasi gerakannya. Salah satu usahanya adalah mendorong laju kebangkitan intelektual di kalangan Angkatan Muda Muhammadiyah, sebab sangat menyadari bahwa keilmuan dan keislaman adalah semangat inti segala gerak Muhammadiyah. Dimana kepemilikan ilmu dan daya intelektualitas adalah pintu gerbang kemampuan memahami dan mengamalkan Islam secara kaffah, dan AMM sebagai pelaku sejarah gerakan Muhammadiyah masa depan menjadi juru kunci cerah dan buramnya wajah Muhammadiyah dalam pergulatan dunia.
 
Dalam sebuah catatan pendeknya, Buya Safii mempertegas suara hidupnya sebagai bapak bangsa: Aku mencintai bangsa ini secara tulus dan dalam sekali. Bagiku, membela bangsa adalah dalam rangka membela Islam.
Usaha dan perjuangan Buya Safii tak berhenti tatkala meletakkan kepemimpinan Muhyammadiyah pada gernerasi di bawahnya. Buya kemudian mendirikan Maarif Institud sebagai wahana melanjutkan ikhtiar dalam rangka mengawal dan menggapai kebangkitan intelektual di kalangan generasi muida Islam. Kini, di bawah layar Maarif Institud, Buya Safii pun kian menancapkokohkan jejaknya sebagai tokoh pluralis yang konsisten memperjuangkan nilai-nilai kemajukan dakam bingkai keislamam, keindonesiaan dan kemanusiaan.

Sumber:http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-168-det-prof-dr-ahmad-safii-maarif.html

RAKER (RAPAT KERJA) IPM SMP MUHAMMADIYAH 1 SIDOARJO) 2014-2015

BIDANG KDI
BIDANG PIP
BIDANG IPMAWATI
BIDANG ADVOKASI
BIDANG KADER
BIDANG KEBENDAHARAAN
BIDANG ASBO